Namun, alih-alih menganggap perbedaan bahasa sebagai hambatan, Fellicia menjadikannya sebagai materi pembelajaran tentang toleransi dan kebanggaan identitas daerah.
“Saya selalu bilang ke mereka, tidak perlu malu dengan logat Madura. Semua logat itu sama berharganya. Yang penting berbicara dengan sopan dan jelas,” ujarnya dengan lembut.
Bagi Fellicia, mengajarkan Bahasa Indonesia bukan sekadar memperbaiki ejaan atau menghafal struktur kalimat. Lebih dari itu, ia ingin menanamkan nilai-nilai kebanggaan dan cinta tanah air melalui bahasa.
“Bahasa Indonesia adalah jati diri kita. Melalui bahasa, kita belajar menghargai bangsa sendiri. Setiap kata yang mereka ucapkan dengan benar, bagi saya adalah wujud kecil dari nasionalisme,” katanya.
Mengajar di Sekolah Rakyat, menurut Fellicia, bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan jiwa. Ia menyaksikan sendiri bagaimana sekolah ini menjadi harapan baru bagi anak-anak dari keluarga prasejahtera.
“Banyak anak putus sekolah akhirnya bisa kembali belajar di sini. Sekolah Rakyat benar-benar menjangkau yang tidak terjangkau,” katanya dengan mata berbinar.
Ia masih mengingat satu siswanya di kelas VII yang dulu kesulitan membaca dan berhitung. Dengan pendampingan rutin bersama guru lain dan bantuan psikolog sosial, anak itu kini lebih percaya diri dan termotivasi untuk belajar.
“Itu bagi saya pencapaian terbesar. Bukan soal nilai, tapi perubahan sikap dan semangat mereka,” ujarnya haru.