CARAPANDANG.COM - Gelombang gagal bayar alias default negara-negara pasca-pandemi COVID-19 kini mencapai puncaknya. Ghana, Sri Lanka, dan Zambia misalnya, sudah mengakhiri tahun-tahun penyelesaian utang dengan menyakitkan.
Namun, tak hanya mereka saja. Dana Moneter Internasional (IMF) dan sejumlah pihak juga mengutarakan kekhawatiran yang sama di banyak negara berkembang dunia lain.
Kekurangan likuiditas yang berbahaya dapat terjadi di kelompok negara itu. Hal ini dapat menghambat pembangunan, menghambat mitigasi perubahan iklim, dan memicu ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga Barat.
Kesimpulan ini setidaknya terungkap dalam sebuah pertemuan IMF-World Bank di Washington DC, akhir pekan kemarin, sebagaimana dimuat Reuters, dikutip Rabu (23/10/2024). Masalah ini bisa makin memburuk, apalagi jika negara barat, yang juga si pemberi utang, makin enggan mengirimkan uangnya ke luar negeri.
"Ini merupakan tantangan dalam arti bahwa bagi banyak orang, pembayaran utang telah meningkat, pinjaman menjadi lebih mahal, dan sumber eksternal (menjadi) kurang pasti," kata manajer portofolio di RBC BlueBay, Christian Libralato, seperti dikutip Reuters, Selasa (22/10/2024).
Biaya Pelunasan yang Meningkat
Biaya pelunasan utang telah meningkat secara signifikan bagi negara-negara berkembang selama beberapa tahun terakhir. Pembayaran ke China misalnya, menjadi salah satu yang terbesar yang harus dibayar pemerintah negara berkembang.